Tuntut Pelaku Tembak Mati dan Mutilasi di Papua Dihukum Mati, Ratusan Mahasiswa Papua Gelar Aksi

Avatar photo

Salatiga – Ratusan mahasiswa Papua menggelar unjuk rasa menuntut kasus mutilasi di Papua ditangani tuntas, Senin (19/9).

Para pedemo tergabung dalam Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Nduga se-Jawa Tengah bersama solidaritas Kemanusiaan Papua di Salatiga, Semarang dan DIY bersama keluarga korban mutilasi menuntut 6 point.

“Yang pertama, kami mendesak agar segera membentuk tim investigasi independen guna mengungkapkan motif dan fakta kejahatan terhadap kemanusiaan pada kasus tembak mati dan mutilasi 4 keluarga kami,” kata Remond.

Kedua, meminta kepada dewan HAM PBB agar membentuk tim investigasi untuk mengusut dan mengungkapkan kejahatan negara terhadap rakyat Papua sejak tahun 1961.

Ketiga memecat secara tidak terhormat anggota TNI yang terlibat dalam kasus penembakan dan mutilasi 4 warga sipil yang kesatuan Brigif  OJK/20/3 Timika dan diadili di pengadilan umum Timika.

“Kami keluarga korban menuntut hukuman mati kepada para pelaku serta mencopot komandan Brigis  IJK/20/3 Letkol Infanteri Arynovian Hany Sampoerna serta seluruh proses hukum wajib dan harus dilakukan di Timika dan terbuka untuk umum,” tandasnya.

Tuntutan dari Ikatan Pelajar dan mahasiswa sejati bersama solidaritas mahasiswa Papua itu, mendesak kepada Dewan HAM PBB, Presiden Republik Indonesia , Kapolri, Panglima TNI, Kapolda Papua dan Pangdam Cendrawasih, Kapolres Mimika dan Dandim Mimika.

Remond menambahkan, kasus penembakan dan pembunuhan di tanah Papua pada umumnya sudah terjadi sejak Papua dipaksa bergabung bersama Indonesia, beberapa kasus operasi besar-besaran secara terstruktur telah mengakibatkan pelanggaran kemanusiaan yang luar biasa.

Dengan ini menyampaikan desakan dan tuntutan bahwa praktik tembak mati mutilasi dalam karung dilapisi batu sebagai pemberat di tenggelamkan di jembatan Lopong Sungai Wania Kampung merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat.

“Bahwa keterlibatan anggota TNI dari Brigif IJK/20/3 dengan melibatkan seorang berpangkat Mayor, Kapten, Praka, Pratu serta beralisiasi berkonspirasi dengan warga sipil merupakan kerja sistematis dan struktur terstruktur,” terangnya.

Sehingga, peristiwa pembunuhan dengan cara mutilasi terhadap 4 korban warga sipil Nduga di Timika pada 22 Agustus lalu dengan realita praktek hukum di Biak berdarah. Namun disebutnya tak diselesaikan secara hukum.

Para pedemo menduga, persoalan ini pun akan senasib dengan kasus sebelumnya bahwa segala kejahatan terhadap kemanusiaan pelanggaran hak di atas tanah Papua bukan merupakan peristiwa baru.

“Tetapi dengan kasus tembak mati dan mutilasi keempat warga sipil menjadi momentum membuka tabir kejahatan terhadap kemanusiaan pelanggaran HAM yang selama ini dibiarkan dan terjadi pembiaran oleh negara dalam hal ini NKRI,” teriak seorang pengunjung rasa.

Pengunjuk rasa juga meneriakan bahwa proses hukum di atas di tanah Papua selalu saja diskriminatif dan tidak pernah ada satu kasus pun yang diselesaikan di pengadilan.

“Maka kami membutuhkan dukungan dan intervensi masyarakat internasional guna mendapat pengakuan sebagai manusia,” terangnya.

Para pedemo sempat berhenti di Depan Kodim 0714 Salatiga dan kembali berorasi di depan Perkantoran Militer. Dengan titik akhir di Bundaran Tamansari Salatiga, para pedemo kembali berorasi dan menarik perhatian pengguna jalan.

Sementara, puluhan petugas Kepolisian baik berseragam dan berpakaian bebas melakukan pengamanan termasuk Satlantas Polres Salatiga memberlakukan buka tutup arus di beberapa titik persimpangan.