Pakar Hukum Pidana Ungkap Kasus Tragedi Kanjuruhan Bukan Pelanggaran HAM Berat

Avatar photo

JAKARTA – Pakar hukum pidana menyebut tragedi pasca laga Arema melawan Persebaya di stadion Kanjuruhan Malang pada 1 Oktober 2022 lalu, bukan pelanggaran HAM berat. Hal ini disampaikan pada kegiatan Focus Group Discussion dengan tema Pertanggungjawaban Pidana Kasus Tragedi Kanjuruhan Malang, di Kampus B Universitas Airlangga (Unair), Jumat (25/11/2022).

Prof Dr Didik Endro Purwoleksono, Guru Besar Fakultas Hukum Unair menyebut, tragedi Kanjuruhan bukan pelanggaran HAM berat. Hal ini mengacu pada hasil temuan tim independen yang dipimpin Menkopolhukam Mahfud MD, beberapa waktu lalu.

“Karena kalau pelanggaran HAM, karena itu harusnya acuannya adalah pengadilan HAM, undang undang 26 tahun 2000. Dan itu ada dua jenis genosida dan kemanusiaan,” jelas Prof Didik.

“Ciri khas pelanggaran HAM adalah sistematis, tetapi gas air mata bukan senjata tajam,” tambahnya.

Pakar bidang Criminal Law dan Criminal Procedure Law itu juga menyebut bahwa berdasar sejumlah kajian terhadap kasus tragedi Kanjuruhan, maka pasal KUHP yang tepat diterapkan pada para pelaku adalah pasal 359.

Namun pada penerapan pasal tersebut, kata dia, perlu didalami apakah aparat kepolisian yang ada di lokasi kejadian telah memahami sejumlah faktor.

Faktor pertama, apakah aparat sudah mengetahui atau tidak tentang regulasi larangan FIFA membawa gas air mata kedalam stadion.Kedua, penembakan gas air mata apakah sesuai dengan SOP. Ketiga perlu dibuktikan apakah para korban itu merupakan korban gas air mata. Dan ke empat, apakah bisa dibuktikan bahwa penggunaan gas air mata dalam kejadian itu menyebabkan kepanikan sehingga massa saling berdesakan dan berujung pada terjadinya tragedi

“Menurut saya dari empat poin tersebut jika salah satunya memenuhi , maka aspek pidananya bisa dikenakan pasal 359,” tandasnya

Sementara pakar HAM, Dr Bambang Suheryadi menyebut, penerapan pasal dalam kasus Kanjuruhan harus melihat berbagai faktor termasuk niat para pelaku dan kondisi psikologis mereka.

“Namun dalam keilmuan hukum psikologis, ditengah kondisi kacau itu kita tidak bisa menuntut polisi sabar, kita tidak bisa menuntut kesabaran mereka,” ungkapnya