Kisah Ayok di Salatiga, Tak Henti Olah Ban Bekas Demi Lingkungan

Avatar photo

SALATIGA – Pandemi Covid-19 yang melanda dunia tidak terkecuali Indonesia turut berdampak pada pelaku usaha di dalam negeri.

Satu diantaranya adalah Sindhu Prasastyo (43) pemilik usaha dengan merk Sapu Upcycle.

Akibat pandemi, omzet bisnis yang dirintisnya sejak 2010 lalu itu menurun drastis.

Bukan hanya itu, ia  pun terpaksa mengurangi karyawan yang berkerja di tempatnya.

Ayok sapaan akrabnya mengatakan, meski bisnisnya dalam bidang pemanfaatan barang bekas menjadi benda bernilai lebih tinggi dari aslinya (upcycle) terdampak pandemi habis-habisan ia tak mau berhenti.

Baginya, berkreativitas serta inovasi tidak boleh berhenti terlebih apa yang dikerjakannya itu bukan saja memiliki manfaat dibidang sosial dan ekonomi namun juga berdampak besar bagi lingkungan.

“Karena alasan tersebut, saya tidak berhenti mengolah limbah ban bekas truk sampai sekarang walau merugi besar-besaran karena Covid-19.

Sebelum awal 2020 lalu produksi normalnya minimal 1.000 buah barang kerajinan mulai dompet, gelang, tas, buku menu dan sebagainya perlahan berkurang seiring menurunnya pembeli.

Jika dihitung omzet sekira Rp 100-200 juta perbulan tergantung musim,” terangnya kepada Tribunjateng.com, Sabtu (1/10/2022)

Dia bercerita, sebelum pandemi merebak barang kerajinan hasil kreasi dari ban dalam bekas truk buatannya secara rutin biasa dikirim ke berbagai negara di Eropa seperti Jerman, Inggris, Perancis, dan Belgia.

Hanya saja, begitu pandemi datang pangsa pasarnya dari luar negeri pun seolah tutup.

Tapi, dia tak mau menyerah begitu saja walau pasar sedang lesu

Ayok tetap mengolah ban bekas untuk konsumen dalam negeri yang dijual melalui distributor di Bali dan Yogyakarta.

Bukan hanya itu, dari semula Ayok fokus pada pengolahan limbah ban bekas menjadi barang bernilai lebih tinggi belakangan berinovasi ke limbah kayu yang dibuat aneka macam souvenir, tatakan gelas, dan talenan dengan tetap dimodifikasi material ban bekas.

Adapun barang-barang hasil tangan kreatifnya itu dijual mulai Rp 50 ribu sampai 1 juta.

“Gara-gara Covid juga semula saya memperkerjakan 10 pekerja, sekarang cuma memaksimalkan saudara dan kerabat saja.

Untuk beralih ke limbah kayu mulai 2020, ini saya juga sedang mengerjakan sampel bingkai kacamata pesanan dari Bali yang rencana juga nanti mau diekspore.

Intinya, berbagai macam limbah membahayakan kelestarian hidup.

Apabila dibiarkan akan menumpuk dan menyebabkan terganggunya ekosistem alam. Maka, saya berusaha mengolahnya atau istilah kami upcycle,” katanya

Ayok mengatakan, selama ini dalam mengolah barang-barang limbah dipelajarinya secara autodidak karena awalnya memiliki ketertarikan tersendiri pada desaign grafis lantas mencoba berbagai material sebelum menggunakan ban bekas kerajinan upcycyle dibuat dari plastik.

Kemudian, untuk alasan pemilihan bahan baku limbah sendiri berawal dari keanggotannya pada Komunitas Tanam Untuk Kehidupan (TUK) Salatiga yang fokus pada isu-isu lingkungan.

Warga Kelurahan Randuacir, Kota Salatiga itu melanjutkan, dalam upaya upcycyle ban bekas tidak semua ban bisa digunakan akan tetapi lebih spesifik jenis ban dalam untuk kendaraan besar.

Sebab, selain karena limbah dari sisa penggunaan kendaraan bermotor tersebut yang volumenya cukup banyak manakala dikreasikan menjadi barang nilai ekonominya juga tinggi ketimbang hanya mengotori lingkungan tanpa penanganan yang tepat.

“Karena prinsip kami ya yang ada di Sapu Upcycle ini yang namanya sapu ya alat untuk membersihkan lingkungan, cuma disini kami sebut prosesnya upcycle dimana menjadikan barang bernilai ekonomi lebih tinggi dari aslinya.

Sebagaimana dulu saat saya masih di TUK prinsip kami adalah reduce, reuse, recycle, dan upcycle. Kami melakukan inovasi agar sampah dapat dikurangi dan diolah kembali menjadi barang bermanfaat dan bernilai lebih,” ujarnya

Untuk saat ini lanjutnya, selain tetap terus memproduksi meski tak sebesar dahulu dan hanya mengandalkan bantuan anggota keluarga dan kerabat. Pada waktu yang ada akan dimanfaatkan untuk berbenah melakukan sejumlah perbaikan manajemen seperti mencari konsep mendekatkan produk dengan konsumen secara digital khususnya konsumen dalam negeri.

Tak berhenti disitu, sejumlah produk dimana selama sepuluh tahun berjalan belum dipatenkan akan diurus.

Sebab, selain peluang ekonominya tinggi menekuni usaha pada bidang pemanfaatan limbah ban bekas dinilai belum banyak kompetitor.

Sebaliknya, limbah ban bekas jumlahnya tak terbatas mudah didapat dan tidak semua orang bisa mengolahnya.

“Selama ini memang saya akui kendala di digital belum terurus. Sejauh ini menggantungkan pasar offline seperti pameran, dan pihak distributor baik yang ada di Jawa dan luar Jawa untuk mereka jual kembali ke luar negeri. Namun yang utama dari semua itu semoga kami bisa turut mengurangi beban lingkungan,” tandasnya