Catatan dari Semarang-Salatiga Oleh : Rudy Rahabeat, Pendeta GPM

Avatar photo

Salatiga – Pertama, pentingnya saling belajar dan berbagi. Semua orang adalah guru dan semua tempat adalah sekolah. Kata-kata bijak Ki Hajar Dewantoro ini patut dibatinkan dan diaktakan dalam laku hidup tiap-tiap hari. Kita mesti tidak merasa cepat puas dengan diri sendiri, apalagi merasa diri lebih hebat dari orang atau tempat lain, sehingga terjebak dalam ego dan lupa bahwa tiada ego tanpa yang lain (the other). Hidup di luar tempurung (Ben Anderson, 2016) mesti menjadi kearifan untuk terus belajar dan berbagi dengan siapa saja dan dimana saja. Perjalanan ke Semarang-Salatiga dimaknai sebagai proses belajar bersama dan saling berbagi dengan tujuan saling memerkaya hidup serta membuat hidup makin berdampak.

Perjumpaan dengan para pelayan dan umat di Gereja Blenduk (GPIB Imanuel) Semarang mengajarkan bahwa gereja hidup di tengah pusaran zaman. Gereja mesti merespons perubahan itu dengan cerdas jika tidak ingin menjadi fosil dan ditinggalkan. Fenomena berkurangnya kehadiran umat di di gereja-gereja di perkotaan mengingatkan para pemimpin untuk segera berbenah dan berani melakukan terobosan-terobosan, ketimbang terus memperhatikan cara-cara lama yang tidak relevan lagi. Tentu patut diapresiasi gereja-gereja yang terus melakukan pembaruan dan inovasi sehingga tetap eksis dan relevan di tengah konteks perubahan, khususnya di era digital saat ini.

Kedua, belajar bersama Pesantren yang inklusif di tanah Jawa. Pondok Pesantren Edi Mancoro Gedangan Semarang merupakan salah satu pesantren inklusif di Jawa Tengah. Merujuk pada buku Jejak Marifat KH Mahfud Ridwan yang ditulis Ahmad Faidi (2021), pondok pesantren ini bukan saja mengajarkan para santrinya memahami Alquran dan Kitab Kuning, tetapi juga mengajarkan ketrampilan dan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Ciri inklusif pesantren ini juga bahwa para santrinya ditanamkan nilai-nilai kebangsaan dan penghargaan terhadap perbedaan.

Saat kami tiba di pesantren para santri menyajikan kudapan berupa teh dan penganan “Perhatikan bahwa yang menyajikan kudapan itu bukan saja perempuan tetapi laki-laki juga. Kami hendak menunjukan kesadaran gender di kalangan santri terkait nilai kesetaraan dan kerjasama lintas gender” ungkap Kiai Hanif, anak bungsu KH Mahfud Ridwan (alm.).

Pesantren Edi Mancoro juga pernah menerima tamu dari Amerika Latin, Parlemen Eropa dan berbagai negara lainnya. Keterbukaan kepada orang luar ini menunjukan bahwa pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang terbuka dan berpotensi merajut kerjasama lintas batas agama, etnis, bahkan negara. Pondok pesantren, selain Madrasah dan Sekolah merupakan pilar-pilar peradaban yang mesti terus dikembangkan menjadi agen-agen pembaruan dan transformasi. Teringat buku klasik Karel A, Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah (LP3ES, 1994) yang menegaskan bahwa pendidikan Islam itu bersifat dinamis dan progresif.

Ketiga, merawat toleransi lintas aktor dan sektor. Setelah mendapat kisah pengalaman dari FKUB Jawa Tengah, KH Taslim Sahlam dan jaringan lembaga kerjasama lintas iman milenial di Jawa Tengah kami bertandang di pendopo Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Di tengah kepadatan kesibukannya itu orang nomor satu di Jawa Tengah itu menyempatkan waktu menerima rombongan dari GPM dan setelah itu paduan suara mahasiswa dari Kupang NTT.

Kami semua duduk bersila/lesehan, termasuk pak Gubernur. Dengan senyuman dan lugas ia menyampaikan langkah-langkahnya untuk menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat di Jawa Tengah, termasuk upaya merawat toleransi dan perdamaian. Selain pelibatan FKUB dan tokoh agama, ia juga melihat pentingnya partisipasi seluruh warga masyarakat untuk merawat hidup bersama yang harmonis. Kunjungan ini dapat dimaknai sebagai kesadaran bahwa upaya merawat toleransi dan perdamaian hendaknya bersifat utuh dan komprehensif. Selain peran masyarakat dan tokoh-tokoh agama maka peran pemerintah juga sangat penting. Kolaborasi dan kerjasama lintas aktor merupakan langkah strategis mewujudkan harmoni sosial.

Keempat, kepemimpinan yang holistik. Pemimpin itu bukan bos, bukan juga manejer. Pemimpin ini mesti memiliki karakter dan integritas serta dapat diteladani. Pemimpin yang mampu beradaptasi dengan perubahan di era digital saat ini. Lieli Suharti, Izaak Lattu, Ph.D, Berti Esti Ari Prasetya, MA, Prof Eko Sediyono dan Dr Teddi Koliluddin merupakan dosen-dosen UKSW Salatiga yang memberi materi tentang model-model kepemimpinan dan bagaimana menjadi pemimpin yang memengaruhi dan mengubah.

Demikian pula refleksi teologis dari Pdt Izaak Sapulette, Sekum MPH Sinode GPM tentang sikap keterbukaan Musa menerima masukan dari mertuanya Jitro serta pola berbagi peran di antar para pemimpin memberi insight tentang pemimpin dan kepemimpinan yang efektif. Selain itu, gagasan Pdt Elifas Maspaitella tentang pentingnya Bakudapa (perjumpaan) sebagai salah satu elemen penting dalam membangun kerjasama dan toleransi. Ia mencontohkan kisah perjumpaan Yesus dengan perempuan Samaria yang memungkinkan terjadinya transformasi dan pembebasan dan struktur-stuktur sosial yang diskriminatif dan membelenggu.

Perempuan diterima sebagai pribadi yang setara, demikian pula stigma sosial kepada orang Samaria yang dianggap tidak “murni” mengalami pemaknaan baru ketika bakudapa (berjumpa) dengan Yesus, sosok yang membawa nilai-nilai kasih, keadilan, kebenaran dan kesejahteraan ke dalam dunia. Yesus menghargai setiap manusia dengan aneka latar belakang sejarahnya dan menawarkan air kehidupan yang menyegarkan jiwa raga.

Kelima, jalan kebangsaan, jalan risomatik. Salah satu pilar kegiatan Leadership Training (LT) yang diikuti para pimpinan Klasis se-GPM juga hendak memperkuat wawasan dan komitmen kebangsaan. Perjumpaan dengan sesama warga bangsa di tanah Jawa dengan aneka latar belakangnya hendak dipadukan dalam spirit Bhineka Tunggal Ika. Demikian pula komitmen bersama untuk membangun banga dari Merauke sampai ke Sabang hendaknya melibatkan semua elemen warga bangsa dengan aneka perbedaan, potensi dan tantangannya.

Di tengah ancaman terhadap eksistensi bangsa karena berbagai ideologi, kepentingan politik dan gerakan transnasional, maka St Sunardi, pengajar pada program pascasarjana Seni dan Masyarakat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta menawarkan jalan risomatik dalam mengelola Indonesia yang plural. Jalan atau metode ini mengutamakan becoming daripada being, proses menjadi daripada indentitas. Becoming berangkat dari gugus daripada struktur.

Gugus maupun unsur-unsurnya bisa datang dari mana saja, tidak saja dari pusat “tumbuhan” melainkan bisa bertunas dari mana saja. Ibarat tumbuhan risomatik (akar rimpang) seperti jahe atau lengkuas, potensi tunas tumbuh ada dimana saja. Selain itu becoming juga mengutamakan hubungan (connectedness) dan keaneragaman. Hal ini selaras pula dengan ide Prof John Titaley, mantan Rektor UKSW tentang wawasan dan praksis Indonesia fenomena baru yang egaliter dan inklusif.

Demikian remah-remah refleksi perjalanan Ambon-Semarang-Salatiga. Sebuah proses belajar dan berbagi yang tak pernah selesai. Proses menjadi peziarah spiritual yang tak sombong dan lupa diri. Proses menempa kepemimpinan yang berdampak bagi kemanusiaan dan semesta ciptaan. sebuah perjalanana menuju Sang Maha Sempurna. Maturnuwun. Tabea !