Mengabarkan Fakta
Indeks

Waspada, Pekan Depan Pantura Demak Berpotensi Diterjang Banjir Rob

DEMAK – Wilayah Pantai Utara (Pantura) berpotensi diterjang banjir rob pada rentang 13-16 Juni 2022. Pada periode tersebut, kondisi pasang air laut diprediksi akan cukup tinggi.

Pada periode itu, jika dibandingkan dengan waktu lainnya untuk tahun 2022, kondisi di pekan depan adalah kondisi yang diprediksikan tertinggi di tahun ini.

Melihat kondisi Pantura yang terus turun tanahnya, di satu sisi ada pasang tinggi dari air laut, yang dimungkinkan ditambah gelombang tinggi, maka tanggal 13-16 Juni 2022 adalah kondisi waspada banjir rob.

“Hal yang paling ditakutkan adalah terjadinya kembali tanggul yang jebol, sehingga kejadian banjir rob di tanggal 23 Mei 2022 akan terulang dan bahkan lebih buruk, ” kata Kepala Lembaga Riset Kebencanaan IA-ITB Heri Andreas dalam keterangan resminya, Minggu (12/6/2022).

Menurut Heri, melihat potensi banjir rob akan sangat rawan dan harus diwaspadai hampir di sebagian besar wilayah pesisir Pantura. Menurut data-data hasil penelitian, banjir rob kemungkinan besar akan terjadi di puluhan wilayah.

Di antaranya, mulai dari Pesisir Tanggerang, Pesisir Jakarta seperti Kamal Muara, Tanjungan, Muara Angke, Muara Baru, Sunda Kelapa, Ancol dan Marunda, Pesisir Muara Gembong, Pondok Bali Pamanukan, dan Pesisir Indramayu, Cirebon.

Lalu, sebagian pesisir Tegal dan Brebes, sebagian besar pesisir Pekalongan seperti wilayah Pasirsari, Tirto, Kandang Panjang, Panjang Wetan dan Panjang Baru, dan sebagian besar pesisir Semarang seperti wilayah Bandarharjo, Tambaklorok, Tambakrejo, Kemijen dan Gayamsari.

Banjir juga diprediksi terjadi di sebagian besar pesisir Demak yang meliputi wilayah Sayung, Karang Tengah, Bonang dan Wedung, sebagian dari pesisir Rembang, Gresik, Surabaya hingga Probolinggo.

Menurut dia, banjir rob merupakan bencana bauran, artinya faktor alam yang diperparah oleh ulah manusia. Yang paling besar adalah ulah manusianya yang menyebabkan tanah pesisir turun akibat eksploitasi air tanah hingga global warming yang menyebabkan sea level rise.

Faktor alam berupa pasang surut dan gelombang sebenarnya pengaruhnya lebih kecil. Jika terkait dengan ulah manusia, maka sebenarnya bisa diprediksi dan bisa diantisipasi, sehingga risiko bencananya dapat diperkecil bahkan dihilangkan.

“Sayangnya saat ini masih banyak persepsi bahwa banjir rob merupakan bencana alam, sehingga manusia sulit mengantisipasinya. Pemerintah juga alih-alih melakukan upaya prediksi, yang ada masih meyakini banjir rob adalah bencana alam dan hanya bisa menunggu kedatangannya saja dan mengantisipasinya dengan pembuatan tanggul serta peninggian infrastruktur pesisir, ” jelas dia.

Heri Andreas yang juga sebagai Kepala Laboratorium Geodesi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB lebih jauh mencatat bahwa di samping pemerintah masih meyakini banjir rob sebagai bencana alam yang di luar kendali manusia, bencana ini ternyata belum secara tegas masuk ke dalam kategori bencana dalam Undang-Undang Kebencanaan serta perundangan turunannya.

Hal ini menjadi kendala tersendiri bagi pemerintah baik di Pusat maupun di Daerah dalam membuat program yang komprehensif terkait upaya pengurangan risiko bencana banjir rob.