Jakarta – Ketua SETARA Institute Hendardi menilai putusan Komisi Kode Etik Polri (KKEP) mantan Kadiv Propam Polri Inspektur Jenderal (Irjen) Ferdy Sambo sudah tepat dan penuhi rasa keadilan. Diketahui bahwa dalam sidang KKEP, Ferdy Sambo diputuskan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) karena melakukan perbuatan tercela.
“Putusan terberat dalam sidang KKEP. Jika dilihat dari unsur yang dilanggar, maka putusan tersebut dianggap tepat,” kata Hendardi kepada wartawan, Minggu, 28 Agustus 2022.
Selain posisinya dalam sidang etik selaku pelanggar, Ferdy Sambo juga menjadi tersangka yang akan diproses melalui sistem peradilan pidana.
Secara etik prosedural, menurut Hendardi, tugas Polri sudah dijalankan dengan memberhentikan Ferdy Sambo. Tetapi dalam konteks pidana, tugas ini akan dijalankan bersama Polri, Kejaksaan dan Pengadilan.
“Sampai di sini saya yakin atensi dan kepercayaan publik akan berangsur pulih,” kata Hendardi.
Karena berdasarkan fakta-fakta peristiwa, lanjut Hendardi, aspirasi korban dan publik serta atensi Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, telah dilakukan Kapolri sesuai yang diharapkan.
“Untuk menyempurnakan kepercayaan publik, secara bertahap, Kapolri memulai agenda reformasi Polri yang komprehensif dan berkelanjutan,” ungkap Hendardi.
Sementara itu, Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santo, mengatakan PTDH merupakan sanksi terberat bagi seorang anggota Polisi Republik Indonesia (Polri).
Putusan PTDH, menurut Sugeng Teguh Santoso memiliki dua makna. Pertama, Polri tidak ingin institusi tercemarkan dan ikut menanggung ‘dosa’ atas perbuatan tercela Inspektur Jenderal Polisi Ferdy Sambo.
”Kedua, Polri menjawab keraguan masyarakat atas isue Ferdy Sambo memiliki pengaruh kuat di lingkungan internal, sekaligus memenuhi rasa keadilan masyarakat.” Sugeng.
Ia pun menilai putusan PTDH tersebut diputus karena alasan Ferdy Sambo melakukan perbuatan tercela dalam kualifikasi berat.
Sugeng pun mengatakan bahwa Ferdy Sambo, berbohong, tidak bertanggung jawab alias tidak ksatria dengan mengambil tanggung jawab atas tindakannya, yang membunuh Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J.
Ferdy Sambo, menurut Sugeng, bahkan mempengaruhi bawahannya untuk melakukan tindakan tercela, merekayasa kasus, menghilangkan barang bukti.
Selain itu, Ferdy Sambo juga berbohong pada pimpinan Polri dan masyarakat yang pada akhirnya masyarakat tidak percaya pada institusi Polri. Kesalahan ini, ujar Sugeng, masuk dalam kategori kesalahan berat.
“Jadi sanksi pemecatan adalah sudah tepat,” katanya.
Sugeng menambahkan, terduga Ferdy Sambo tetap memiliki hak untuk banding. Nantinya, majelis KKEP banding bisa saja membuat putusan yang sama atau berbeda,” katanya.
Majelis Sidang KKEP menjatuhkan sanksi etika dan pemberhentian dengan tidak hormat kepada Ferdy Sambo, karena dinilai berperilaku tercela. Sambo juga mendapat sanksi administratif berupa penempatan dalam tempat khusus selama 21 hari.
Keputusan tersebut diambil setelah KKEP menggelar sidang secara tertutup dengan menghadirkan Ferdy Sambo selama 18 jam, Kamis, 25 Agustus. Sidang tersebut berakhir dengan pembacaan putusan komisi kode etik Polri, Jumat dini hari, 26 Agustus, pukul 02.00 WIB.
Dalam sidang tersebut, 15 orang saksi turut dihadirkan, antara lain Bharada Richard Eliezer, Bripka Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf. Selain itu, dihadirkan pula saksi sejumlah perwira Polri yang dicopot dari jabatannya karena diduga terlibat obstruction of justice, yakni Brigjen Pol. Hendra Kurniawan, Brigjen Pol. Benny Ali, Kombes Pol. Budhi Herdi Susianto.
Usai putusan sidang, Ferdy Sambo mengajukan banding yang merupakan haknya sesuai Pasal 69 Peraturan Polri Nomor 7 Tahun 2022.