Mengabarkan Fakta
Indeks
Berita  

Sedihnya Kakek di Demak, Sawahnya Jadi Jalan Tol Tanpa Ada Ganti Rugi

Demak – Seorang kakek bernama H Achmad Suparwi (72) mengaku memiliki lahan sawah di Desa Pulosari, Kecamatan Karangtengah, Demak, yang terdampak Tol Semarang-Demak namun tidak mendapatkan ganti rugi. Lahan seluas 3940 meter tersebut sudah dikerjakan oleh pihak pelaksana jalan tol sejak 2020 lalu.

Parwi mengatakan dirinya telah melaporkan kejadian tersebut ke Polda Jateng. Laporan tersebut berupa dugaan penyerobotan tanah pada 2 Desember 2020 silam.

Parwi menjelaskan alasan dia melaporkan pihak pelaksana proyek tol atas dugaan penyerobotan tanah lantaran dirinya sudah menunjukkan sertifikat asli saat proses mediasi sebelumnya di balai desa. Menurutnya mediasi yang tidak ada mufakat tersebut terus berlanjut pada pengurukan dan pengerjaan jalan tol atas sawahnya.

“Karena saya sudah pernah membawa sertifikat yang asli untuk ditunjukkan di balai desa. Jadi pengelola jalan tol sudah tahu. Tapi tidak ada nego sama sekali atau musyawarah tapi ternyata 2 Desember 2020 malah diuruk, dikerjakan jalan tol. Sore saya langsung laporan ke Polda Jateng,” kata Parwi saat dijumpai di rumahnya, Jumat (2/12/2022).

Pantauan detikJateng di lokasi, sawah Suparwi sudah menjadi jalan tol yang dilalui kendaraan seiring dengan pembukaan Tol Semarang-Demak sebagai jalur alternatif pantura Demak. Sawah itu terletak di KM 460 Desa Pulosari, Kecamatan Karangtengah, Demak.

Terdapat spanduk pada titik tersebut masih dalam penyelidikan Satgas Mafia Tanah dari Ditrekrimum Polda Jateng berwarna merah.

“Lahan Tanah SHM No 471 AN HAJI ACHMAD SUPARWI SAAT INI DALAM PROSES PENYELIDIKAN DITREKRIMUM POLDA JATENG” demikian bunyi spanduk itu.

Kepada detikJateng, Suparwi menunjukkan surat surat tanah yang ia miliki. Yakni sertifikat tanah terbit pada 1982, lalu ia beli pada 1989, dan ia balik nama pada 2009. Ia pun menunjukkan surat pajak lahan tiga tahun terakhir.

“Terbitnya 1982, saya beli 1989, otomatis surat ada di saya. Terus ada pembebasan tol 1997-1998 itu saya tidak menyerahkan sertifikat asli, karena data dari desa sudah ada nama-nama urut orang tapi nama saya tidak tercantum sebagai yang terdampak tol. Saya balik nama 2009, masih bisa dengan notaris. Sampai sekarang saya juga masih bayar pajak, 2020-2021-2022, padahal sudah tidak bisa nanam tidak bisa mengambil keuntungan dari tanah,” ujarnya.

“Luasnya 3940 meter,” imbuhnya.

Ia mengaku tak berdaya saat sawahnya diuruk. Padahal saat itu ada tanaman padi yang berusia sekitar setengah bulan.

“Sawah itu sudah saya tanami, sudah saya pupuk. Tetap diuruk. Padahal saya tidak mau. Saya ya bagaimana, rakyat kecil musuh alat berat seperti itu, saya ya hanya piya-piye piya-piye karena saya istilahnya orang kampung tidak tahu hukum tidak tahu apa, tahunya ada tanahnya ada suratnya, diambil paksa. Kan bingung seperti apa. Jadi ya hatinya gelisah nggak karuan,” ujarnya.

“Kalau orang kampung itu kan kalau ada barang ada uang. Diambil ya dibayar. Sampai sekarang nggak ada musyawarah atau negosiasi untuk mencapai mufakatnya gimana. Saya kan pagi sudah lihat kalau sawah saya sudah digelari terpal. Jadi saya hanya melihat gregel menangis, karena tanah sudah ditanami dan belum dapat ganti rugi sudah diuruk. Sendirian. Orang kampung gak tahu apa apa musuhnya alat berat, ya tinggal lingak-linguk,” imbuh Suparwi.

Ia mengaku mendapat undangan mediasi di balai desa sebelum sawahnya diuruk. Ia mengingat proses mediasi tersebut pada 13 November 2020 dengan berbagai pihak di balai desa. Saat itu, lanjutnya, Suparwi diminta menandatangani surat penyerahan atas lahannya dikerjakan untuk jalan tol.

Parwi yang merasa tidak terlibat dalam proses ganti untung menolak menandatangani surat tersebut. Ia mengingat dua kali tim terkait memintanya untuk menandatangani surat tersebut, di balai desa dan rumahnya.

“Ya tidak apa-apa pak tidak mau, tapi satu hari dua hari mungkin dikerjakan. Ternyata 2 Desember itu diuruk,” ujarnya.

Terkait laporannya di Polda Jateng, lanjutnya, bahwa tanggal 7 Desember 2022 besok dirinya diundang untuk menghadiri gelar acara.

Selain itu, ia menuturkan bahwa dirinya beberapa kali telah melakukan upaya untuk menuntut hak atas lahannya. Yaitu ke BPN Demak, BPN Jateng, Polda Jateng, Gubernur, hingga menemui Presiden Jokowi saat kunjungan di Semarang.

“Saya sudah lapor BPN Demak beberapa kali. Itu sudah setahun lebih semenjak laporan saya di Polda. Saya denger denger mau ada Pak Jokowi di Pasar Peterongan Semarang 5 Juli 2021. Saya dengar terus saya membaur dengan orang-orang di pasar, terus saya itu langsung teriak-teriak sama Pak Jokowi. Pak Jokowi, Pak Jokowi, gitu,” jelasnya.

Ia mengingat bahwa saat itu dirinya bersama istri sudah sampai di Semarang sejak pukul 09.00 WIB. Ia saat itu sempat mengungkapkan keluhannya ke Presiden dan berjabat tangan.

“Terus saya hanya bisa jabat tangan sebentar. Ditanya dari mana, dari Pulosari Karangtengah Demak. Itu jam 13.00 WIB. Sebelumnya saya sudah datang dari jam 09.00 WIB. Saya sudah diawasi oleh Paspampres. Surat-surat saya sudah diminta oleh Paspampres. Ditanya ‘Bapak ini kelihatannya kok mencurigakan mau apa? Saya mau ketemu Pak Presiden Pak, karena saya termasuk yang dirugikan jalan tol’, fotokopi sertifikat, jual beli dan lain-lain saya serahkan ke Paspampres. Terus saya bilang mau ketemu,” tuturnya.

Ia menerangkan bahwa lahan sawah miliknya tersebut ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari khususnya di usia lanjutnya. Ia tak mau mengandalkan anak dan cucunya.

“Saya beli sawah tahun itu kan, saya kan orang swasta petani. Kan ini saya buat jaminan hari tua, jangan sampai saya itu memberatkan atau menggantungkan anak cucu. Tapi setelah ini malah digunakan jalan tol dipakai jalan tol sampai sekarang belum ada kejelasannya,” ujar Parwi yang memiliki 4 anak itu.

Ia bercerita bahwa ia tinggal bersama istri dan anaknya yang nomor 4. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ia membantu jualan pakaian anak-anak istrinya di pasar.

Ia berharap bahwa sebelum tol tersebut diresmikan dirinya sudah mendapatkan proses ganti untung. Mengingat proses pengerjaan tol Semarang Demak ini kini tinggal tahap finishing.

“Saya mohon dari yang terkait, Bapak Presiden, Bapak Gubernur, tolonglah masyarakat kecil seperti saya untuk jangan sampai diresmikan dahulu sampai masalah ganti untung itu terselesaikan. Jangan sampai rakyat kecil seperti saya ini dirugikan,” harapnya.

Terpisah, Kades Pulosari, Slamet Setiyo Budi, saat dijumpai di rumahnya mengatakan bahwa proses pembebasan lahan terkait Suparwi sejak 1997. Pihak desa tidak lagi memiliki datanya.

“Saya kepala desa masih baru sekitar 3 mingguan. Kejadian mengenai Pak Kaji Parwi itu kan di tahun 1997, kami juga nggak tahu prosesnya seperti apa tidak tahu. Yang jelas yang bersangkutan dengan Pak Haji Parwi, kepala desa waktu itu dan perangkatnya, sudah meninggal semua. Jadi kami ya tidak punya data apa-apa,” ujarnya.

“Iya, itu sudah sampai di Polda kasusnya. sudah ditangani Polda, belum selesai memang,” imbuhnya.

Sementara itu pihak pelaksana Tol Semarang-Demak, PT Pembangunan Perumahan (PT PP) melalui humasnya, Robby Sumarna, mengatakan pihaknya berdasarkan Undang-undang telah melakukan prosedur hukum.

“Di undang-undang pengadaan tanah untuk jalan proyek strategis nasional untuk kepentingan masyarakat umum itu diatur dalam Undang-Undang PSN No 19 Tahun 2016. Jadi ketika pelaksanaan dalam proyek kita menemukan tanah yang sedang bersengketa, baik bersengketa atau jaminan bank pun, lahannya tetap dikontruksi. Yang bersengketa dipersilahkan untuk melanjutkan di Pengadilan,” ujar Robby ketika dimintai konfirmasi melalui telepon.

Ia menerangkan bahwa sudah menyampaikan ke Suparwi saat mediasi untuk menggugat di pengadilan. Lantaran pihak pelaksana tol telah memiliki sertifikat hak pakai Tahun 2003.

“Dari awal kami sudah menyampaikan, bahwa jika bapak Suparwi ini tidak menerima, silahkan menggugat di Pengadilan. Sertifikat hak pakai kita itu terbit tahun 2003,” terangnya.

“Dan 1997-1998 setelah terjadinya proses ini (ganti untung) sudah ada penetapan lokasi terhadap bidang tersebut, jalan terarsir dilewati tol. Penetapan lokasi itu artinya tidak bisa diperjualbelikan, sampai dibaliknama pun tidak bisa. Namun pada saat ini pada 2009 kenapa bisa terjadi, berarti kan ada yang cacat nih dokumennya. Yang bisa melakukan itu Pengadilan uji materinya,” imbuhnya.

“Kami proyek strategis nasional negara memiliki surat hak pakai tahun 2003, jadi kami tetap melaksanakan proyek dengan dasar Undang-Undang PSN,” terangnya.

Ia menambahkan mediasi saat itu bersama berbagai pihak. Yaitu BPN, PUPR, Kapolsek, dan Kepala Desa, dan Suparwi.

“Kami sampaikan kepada beliau bahwa kami tetap eksekusi lahannya apabila bapak tidak ada upaya hukum, yang bisa menghentikan kami adalah hukum, artinya ada surat dari Pengadilan demikian yang untuk menghentikan dulu ini mungkin itu bisa kami hentikan. Jadi tidak lisan. Kita kan harus prosedur hukum yang harus kita lewati,” pungkasnya.