SEMARANG, Jateng – Yoka ibu dari MGG (19) korban kekerasan Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang sempat dicurhati anaknya terkait empat kejadian kekerasan yang dialami.
Yoka mengaku, sangat sedih lantaran anaknya mendapatkan perlakuan tak semestinya.
Anggapannya bahwa sekolah kedinasan sudah cukup ramah ternyata masih buas bagi anaknya.
“Anak saya bilang, di sini dapat kekerasan, ia cerita karena misal cacat atau mati orangtua sudah tahu kondisinya.
“Sebab orangtualah yang sudah merawat dari kecil sampai besar tanpa cacat tapi di sini dapat kekerasan. Pas bilang gitu saya nangis terus,” ucap Yoke melalui sambungan telepon,
Rabu (14/6/2023).
Ia menyebut, sebenarnya kurang setuju anaknya masuk ke sekolah kedinasan.
Sebab, takut akan mendapatkan kekerasan oleh para seniornya seperti kejadian yang sudah-sudah.
Hanya saja, anak dan suaminya menyakinkan bahwa kekerasan di sekolah kedinasan sudah hilang.
“Kami para orang tua taruna sempat dikumpulkan oleh pihak sekolah. Mereka meyakinkan kami pula, makanya ya merelakan anak masuk ke situ,” terangnya.
Nahas, ketika MGG masuk ke PIP Semarang, aksi senior ke junior masih didapatkan.
Di sekolah tersebut, kasus tersebut bukan barang baru.
Bahkan, sudah ada korban tewas.
Alih-alih berubah, para senior tetap melakukan “diacarakan” atau melakukan perploncoan terhadap juniornya.
“Anak saya alami penganiayaan sebanyak empat kali.
Tiga kali awal masuk sudah minta cuti enam bulan.
Habis itu masuk lagi, ternyata masih kena (penganiayaan) lagi,” katanya.
Menurutnya, kegiatan kekerasan di lingkungan pendidikan tersebut tampaknya dinormalisasi.
Pasalnya, hal itu dilakukan tidak hanya oleh para taruna tetapi pembina dan pengasuh taruna (Binsuhtar) ikut terlibat.
Parahnya, para orangtua taruna juga ikut menormalkan kejadian itu.
“Saya sempat cerita ke orangtua taruna dan taruni. Saya mendapatkan jawaban aksi kekerasan itu dianggap biasa. Malah menyarakan supaya anak saya ketika dipukul ikuti arah pukulan sehingga tidak terlalu sakit, saya kecewa,” ungkapnya.
Ia berharap, kasus yang menimpa anaknya tidak berulang kembali.
Caranya, dengan melakukan gerakan radikal oleh semua unsur terkait.
“Kami minta dilakukan perbaikan menyeluruh,” katanya.
Diberitakan sebelumnya, seorang pria berinisial MGG (19) taruna Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang alami kekerasan yang dilakukan oleh para senior dan pembinanya.
Kekerasan dilakukan sebanyak empat kali.
Akibatnya,pandangan mata korban sempat kabur selama dua minggu. Air kencingnya berdarah, hingga tulang hidung alami geser.
“Kasus sudah dilaporkan ke Polda Jawa Tengah,” ucap Pendamping hukum korban dari LBH Semarang, Ignatius Radit, di Kota Semarang, Rabu (14/6/2023).
Korban dihajar oleh tujuh seniornya dalam kelompok kegiatan kampus bernama Dekor.
Kelompok dekor bertugas untuk mendekorasi sejumlah kegiatan kampus.
Namun, belakangan diketahui, tim Dekor memiliki arti lain di para taruna yakni dewan eksekutor.
Dalam kelompok tersebut merupakan orang-orang terpilih dengan kriteria taruna yang bertubuh paling besar dan tegap.
Kendati korban masuk dalam kelompok itu, korban tidak berkenan.
Alasannya, korban memang tak suka kekerasan dan lebih memilih ekstrakulikuler lainnya.
“Ternyata di dalam sekolah kedinasan masih ada praktik kekerasan. Bahkan, dinormalisasi,” ucap Radit.
Korban bisa masuk ke sekolah tersebut lantaran ingin menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
Orangtua korban mendukungnya masuk sekolah kedinasan lantaran merasa yakin praktik kekerasan antar taruna di sekolah tersebut sudah hilang.
Apalagi orangtua korban sempat diyakinkan oleh pihak sekolah bahwa praktik senior hajar junior sudah hilang.
Merasa diyakinkan, akhirnya korban masuk ke sekolah tersebut sebagai angkatan 59.
“Korban warga Jakarta, ia masuk PIP tahun 2022,” imbuhnya.
Korban mengalami kekerasan setidaknya empat kali.
Kekerasan pertama berupa pemukulan bertubi-tubi menggunakan tangan terbuka di kepala dari arah atas, depan, kiri dan kanan.
Pukulan mengenai di kepala dan tendangan di tulang kering oleh
Pembina dan Pengasuh Taruna (Binsuhtar) pada Minggu, 9 Oktober 2022.
Penganiyaan kedua, korban mengalami pemukulan di kepala bagian belakang sebanyak lebih dari 10 kali oleh seniornya angkatan 56, Minggu sore, 23 Oktober 2022.
Berikutnya, korban mengalami penganiayaan fisik, dipukul sekitar 40 kali di bagian perut, termasuk ulu hati pada Rabu malam, 2 November 2022
Terakhir Selasa (13/6/2023) , korban alami kekerasan dengan ditendang oleh seniornya.
“Secara fisik memang tidak begitu parah, tetapi hal itu mengingatkan rasa trauma korban. Hal itu terbukti dari hasil assesment psikolog LPSK yang menyatakan korban alami trauma,” bebernya.
Selepas mendapatkan kekerasan, korban sempat mengambil cuti sekolah mulai Desember 2022 hingga Mei 2023.
Selama cuti, korban didampingi kuasa hukumnya melaporkan kejadian itu tak hanya ke Polda Jateng melainkan pula ke Kementrian Perhubungan (Kemenhub) yang membawahi sekolah kedinasan tersebut.
Persisnya ke Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Daerah (BPSDM) Kemenhub.
Pihak lainnya yaitu ke lembaga perlindungan korban dan saksi (LPSK).
Hasilnya, korban sempat diyakinkan oleh BPSDM akan mendapatkan jaminan keamanan.
Korban juga mengajukan berbagai hal ke pihak BPSDM yakni meminta korban dipindahkan ke Sekolah Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta dengan tujuan lebih mudah untuk pengawasan orangtua.
BPSDM meminta korban kembali ke asrama sedangkan pihak PIP Semarang meminta korban untuk kembali bersekolah.
“Ternyata masih sama, korban mendapatkan perundungan karena korban melapor tercium oleh para taruna lainnya hingga kekerasan yang terjadi tadi malam,” ungkap Radit.
Disamping itu, pihaknya telah melakukan investigasi ternyata ada tiga korban lainnya.
Satu di antaranya kini memilih keluar dari sekolah tersebut.
“Taruna yang keluar karena kapok jadi samsak,” tuturnya.
Ia menuturkan, kasus tersebut bisa saja terus bergulir di ranah hukum bilamana para senior yang melakukan kekerasan terhadap korban mau membantu membongkar kasus kekerasan di sekolah tersebut.
“Sebaliknya nanti bisa lanjut (proses hukumnya),”
Ia menambahkan, proses kasus ini tidak hanya dipidana saja.
Sebab, jalur pidana tak bakal menyelesaikan masalah.
Hal itu terbukti di kasus sebelumnya ada taruna PIP tewas dihajar seniornya tetapi kejadian kekerasan masih jalan sampai sekarang.
Artinya, pembenahan sistem penanganan kekerasan di sekolah masih bersifat hangat-hangat tahi ayam.
“Jadi hukuman tidak personal saja tetapi struktural. Lembaga harus diubah, sekolah kedinasan mending pindah ke Kemendikbud saja,” imbuhnya.
Terpisah, Kepala Perwakilan Ombudsman RI Perwakilan Jawa Tengah, Siti Farida mengatakan, telah menerima laporan dari LBH Semarang terkait kasus penganiayaan di PIP Semarang.
LBH Semarang melaporkan kementerian perhubungan pusat sehingga pelaporan akan dilimpahkan ke Ombudsman di Jakarta.
Dalam laporan itu memohon perbaikan supaya tidak ada kekerasan.
“Regulasi menerbitkan kementerian di tingkat pusat nanti prosesnya dari ombudsman pusat untuk saran-saran perbaikan,” katanya.
Tribun masih berupaya mengkonfirmasi ke PIP Semarang. Namun, upaya konfirmasi belum ada tanggapan.
sumber: TribunJateng.com
Baca juga: Polda Jateng, Jateng, Polrestabes Semarang, Polres Rembang, Polres Sukoharjo, Polres Pati, Polres Batang, Polres Humbahas, Polda Sumut, Kapolres Sukoharjo, AKBP SIGIT, AKBP Hary Ardianto, Polres Banjarnegara, Polres Lamandau, AKBP Bronto Budiyanto, Pemkab Banjarnegara