SEMARANG – Sebagai ibu kota provinsi, Semarang dari waktu ke waktu kian macet saja.
Ini terjadi karena pertumbuhan kendaraan bermotor di Kota Semarang terus meningkat, seiring dengan pergerakan ekonomi yang positif.
Alhasil semakin banyak masyarakat yang beraktivitas menggunakan mobil dan sepeda motor.
Otomatis jalan pun menjadi macet, apalagi saat jam masuk kerja di pagi hari dan pulang kantor di sore menjelang malam.
Mengacu pada data perbandingan jalan dan kepadatan lalu lintas yang dirilis Dinas Perhubungan Kota Semarang, dengan menggunakan model volume capacity ratio (VCR) yang mengambil sampel di 20 ruas jalan protokol.
Hasilnya, kemacetan mendekati angka 1 persen.
Sejumlah jalan protokol di Semarang rata-rata berada di ambang 0,75 persen, artinya kapasitas jalan dan jumlah kendaraan hampir overload.
Kepala Dinas Perhubungan Kota Semarang Endro P Martanto menjelaskan, pertumbuhan industri menyebabkan mobilitas pekerja dari wilayah penyangga juga berkontribusi besar.
Penyebab lainnya, transportasi umum di Kota Semarang belum menjangkau pusat-pusat perekonomian, terutama di Semarang Barat dan Timur.
“Kapasitas jalan di Semarang Timur, pusat perekonomian baru ini hampir 1 persen. Di pusat kota seperti jalan Pandanaran dan Pemuda, 2017 lalu over capacity. Pemkot dan Dishub enggak diam-diam saja, akhirnya kawasan segitiga emas, Jalan Pemuda, Imam Bonjol dan Pierre Tendean dibuat searah,” kata Endro saat dikonfirmasi Kompas.com, Kamis (2/2/2023).
Pemkot Semarang juga melakukan tata kelola infrastruktur jalan, tujuannya mengurangi titik-titik kemacetan.
Pembangunan jalan Sriwijaya baru yang diresmikan November 2022 bakal menjadi angin segar pembangunan moda transportasi dan sarana prasarana jalan di Kota Semarang.
“Selain tata kelola taman Kota, Jalan Sriwijaya baru untuk mengatasi kemacetan. Ruas itu merupakan pertemuan arus kendaraan dari Pusat Kota, dan kawasan Semarang atas,” katanya.
Kemacetan lalu lintas diatasi Dinas Perhubungan Kota Semarang melalui rekayasa-rekayasa seperti pemberlakuan ruas jalan satu arah, manajemen traffic light, dan zonasi wilayah rawan macet sesuai data area traffic control sistem (ATCS).
“Tiap tahun kita kaji ulang kemacetan di Semarang. Untuk di ruas yang padat seperti di kawasan kuliner Pecinan sudah berlaku satu arah,” sebut Endro.
Menanggapi hal itu, Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno menyampaikan, penataan transportasi di Kota Semarang memerlukan pengendalian kendaraan pribadi.
Tapi, Pemkot Semarang sebaiknya menyediakan layanan transportasi umum yang mendukung.
“Bisa belajar dari wilayah-wilayah lainnya, push strategy untuk mengurangi populasi kendaraan pribadi. Misalnya, penerapan 3 in 1 di pusat Kota, ganjil genap, atau melarang sepeda motor beroperasi di ruas jalan protokol yang padat,” ucapnya.
Namun demikian, Djoko menekankan, fasilitas pendukung transportasi publik di wilayah ekonomi strategis dan pemerintahan diharapkan bisa terintegrasi.
Nantinya, pembangunan ekosistem bisa meluas ke wilayah-wilayah penghubung seperti Demak, Kabupaten Semarang dan Kendal.
“Pull strateginya membuat aturan penggunaan transportasi publik. Bersama Pemprov, bisa memperbarui layanan BRT Trans Jateng,” tutur Djoko.
Artikel ini telah tayang di TribunJateng.com