SEMARANG – Radikalisme merupakan musuh bersama di tengah era informasi digital. Untuk mencegah penyebaran radikalisme maka salah satu caranya adalah dengan penguatan budaya dan kearifan lokal yang efektif mengikis paham berbahaya tersebut.
Indonesia dikenal sebagai negeri yang kaya akan kebudayaan dan kearifan lokal. Ada berbagai kultur di negeri ini karena memang terdiri dari banyak suku, dari Sabang sampai Merauke. Kekayaan budaya ini sangat membanggakan karena tidak bisa ditemukan di negara lain.
Namun sayang ada yang mempertentangkan budaya asli Indonesia yakni kelompok radikal. Mereka merasa panas ketika ada kearifan lokal, padahal sama sekali tidak merugikan, dan sudah menjadi tradisi sejak era pra kemerdekaan. Kelompok radikal lantas menyebarkan propaganda yang berisi narasi negatif tentang kebudayaan kuno di negeri ini. Padahal kecintaan akan budaya bisa mengikis radikalisme di Indonesia.
Gerakan Sigap Sosial Kemanusiaan (GASSAK) di Yogkayarta menggelar mendeklarasikan “menolak segala bentuk radikalisme, intoleran, dan terorisme, di DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta). Zan Yuri Faton, Ketua GASSAK, menyatakan bahwa gerakan radikalisme, intoleran, dan terorisme, rentan muncul di tengah masyarakat. Tak terkecuali di Gunungkidul.
Zan Yuri menambahkan, sudah beberapa kali warga di DIY dan sekitarnya terindikasi melakukan gerakan radikal dan intoleran. Perbuatan tersebut sudah diketahui oleh pemerintah daerah dan aparat keamanan. Ada warga yang menganggap kebudayaan sebagai sesuatu yang negatif dan bertentangan dengan ajaran agama. Bahkan ia menganggap pecinta kebudayaan sebagai orang yang sesat.
Hal ini tentu saja salah karena tidak ada hubungan antara kebudayaan dengan kesesatan dalam menjalankan keyakinan masing-masing. Kebudayaan dan kearifan lokal adalah tradisi di Indonesia, yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Sejak era sebelum kemerdekaan, kebudayaan sudah lekat dengan masyarakat Nusantara, dan tidak bisa dihapuskan begitu saja.
Jika ada yang mencintai budaya kuno, bukan berarti ia dengan mudah meninggalkan keyakinannya, sehingga statement dari kelompok radikal salah besar. Antara menjalankan keyakinan dan mencintai kearifan lokal bisa dilakukan secara bersamaan. Jangan menuduh orang lain dengan sebutan yang sangat buruk hanya gara-gara ia jadi pecinta kebudayaan asli Indonesia.
Radikalisme wajib diberantas agar tidak ada kengawuran seperti ini. Masyarakat akan diajak untuk meninggalkan kebudayaan karena takut dianggap buruk, padahal sebenarnya tidak seperti itu. Justru kearifan dan kebudayaan lokal yang akan mengikis radikalisme dan intoleransi di Indonesia.
Kearifan lokal seperti upacara syawalan akan mengikis radikalisme karena mengajak masyarakat untuk merayakan syawalan (kupatan), yang dilakukan seminggu setelah idul fitri. Dalam upacara itu dihidangkan ketupat yang berasal dari bahasa Jawa kula lepat (saya salah) dan saling memaafkan. Inilah yang akan menghapuskan radikalisme karena mau mengakui kesalahannya, tidak seperti kelompok teroris yang selalu ingin menang sendiri.
Dibutuhkan kerja sama antar kalangan masyarakat saat akan mengadakan upacara syawalan, dan mereka saling bertoleransi karena berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Namun walau berbeda tetapi tetap satu jua, karena merasa satu Indonesia. Tidak ada perbedaan yang dipermasalahkan dan tetap solid, terutama dalam melawan radikalisme dan intoleransi.
GASSAK akan mengantisipasi radikalisme dan terorisme dengan mengadakan acara yang menggandeng pejabat daerah, MUI, dan aparat keamanan. Acara ini sangat penting karena Gunungkidul adalah tempat yang masih memegang teguh tradisi dan kebudayaan kuno. Jangan sampai kesolidan dan kecintaan akan kearifan lokal ini terkikis oleh radikalisme di DIY dan sekitarnya.
GASSAK juga mengadakan edukasi dengan pendekatan budaya, kearifan lokal, dan kemanusiaan. Edukasi harus dilakukan karena intoleransi sangat berbahaya bagi Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Edukasi adalah kewajiban karena kebudayaan akan mengikis radikalisme dan intoleransi. Jika masyarakat menilik dari sejarahnya, Indonesia terdiri dari suku yang berbeda-beda. Namun mereka tidak mempermasalahkannya dan tetap solid. Semua disatukan dalam Pancasila dan melebur menjadi Indonesia.
Para tokoh seperti Sunan Kalijaga juga mencintai kebudayaan sehingga seharusnya tidak ada alasan bagi kelompok radikal untuk membenci kearifan lokal. Seharusnya mereka membaca lagi buku sejarah, karena tidak ada yang mengatakan bahwa kebudayaan bertentangan dengan ketaatan dalam menjalankan keyakinan.
Dengan mencintai kebudayaan maka tercipta rasa nyaman di hati, karena kebudayaan dan kesenian bisa menghaluskan perasaan. Seseorang yang jadi pecinta kearifan lokal tidak akan mau diajak oleh kelompok radikal dan teroris, karena mereka menggunakan cara-cara kekerasan. Kelembutan akan melelehkan kekerasan dan menolak radikalisme mentah-mentah.
Budaya dan kearifan lokal bisa mengikis paham radikalisme dan intoleransi. Seharusnya kebudayaan terus dilestarikan, karena jadi warisan para leluhur. Kebudayaan juga jadi tameng bagi radikalisme yang merupakan paham yang berasal dari luar negeri. Dengan mencintai kebudayaan lokal yang luhur dan penuh dengan kedamaian, maka masyarakat paham bahwa radikalisme yang membawa jalan kekerasan, itu salah besar.
Ikuti berita terkini di Google News, klik di sini.