PATI – Penggunaan ponsel pintar (smartphone) atau handphone yang tidak terkontrol oleh anak bisa menjadi momok mengerikan bagi para orangtua.
Sebab, kecanduan HP bisa memunculkan gangguan perilaku pada anak.
Dalam kondisi yang parah, anak bahkan sampai harus dirawat di bangsal jiwa rumah sakit.
Hal tersebut dibenarkan oleh dokter spesialis jiwa RSUD RAA Soewondo Pati, Yarmaji.
Dia mengatakan, tahun lalu ada sekira 5 anak usia SMP, SMA, dan perguruan tinggi yang dirawat di bangsal jiwa.
“Sudah banyak orangtua yang membawa anaknya ke sini dengan keluhan gangguan emosi, tidur, dan perilaku.”
“Setelah kami evaluasi, ternyata memang terkait penggunaan HP.”
“Entah untuk medsos atau game, sebagian besar ada faktor penggunaan HP yang tidak terkontrol.”
“Di sini kami sebut kecanduan gawai,” kata Yarmaji kepada Tribunjateng.com, Rabu (1/2/2023).
Dia mengatakan, pernah menangani seorang remaja putri yang masih SMP.
Anak tersebut diantar orangtuanya dengan membawa kondisi gangguan emosi.
“Si anak sering menangis dan mengurung diri.”
“Setelah ditanya, ternyata awalnya mengalami perundungan di lingkungan sekolah,” kata Yarmaji.
Menurutnya, perundungan tersebut terkait juga dengan penyalahgunaan HP atau penggunaan gawai yang tidak terkontrol.
“Anak ini dipaksa temannya menonton konten pornografi secara terus menerus.”
“Bahkan sampai ada tindakan ‘tidak terpuji’ dengan teman sesama perempuan,” ucap dia.
Sampai pada satu titik, si anak merasa sudah tidak kuat dan melapor ke orangtua.
“Kami lakukan pendekatan terapi farmakologi.”
“Kami juga dukung orangtua agar bisa menjalin komunikasi dengan sekolah.”
“Sebab di sekolah dia harus bertemu teman-teman yang membuatnya harus melihat itu (konten porno) lagi,” kata dia.
Kasus lain yang terbaru, ada anak yang kecanduan HP hingga mengalami gangguan emosi.
Bahkan sampai kabur dari sekolah karena di sekolah ada batasan tidak boleh menggunakan HP.
“Setelah di rumah, anak ini kondisinya tidak seperti biasa, ada gangguan perilaku.”
“Dia membangkang, bahkan mengambil uang tanpa izin.”
“Mungkin untuk beli kuota, tapi setelah ditanya ternyata juga untuk beli rokok.”
“Jadi dia juga kecanduan merokok.”
“Adanya kecanduan (HP dan rokok) bisa berbarengan,” ungkap Yarmaji.
Setelah beberapa kali sesi terapi dengan pendampingan orangtua, lanjut dia, gangguan emosi si anak bisa mereda.
“Tapi (perawatan) masih berjalan dan harus mendapat terapi komprehensif.”
“Kami sebagai psikiater memberikan terapi obat dan psikoedukasi.”
“Di rumah, lingkungan juga memberi pendekatan pendampingan untuk terapi perilakunya.”
“Kemudian ada pembatasan penggunaan HP dan mengatur waktu tidurnya.”
“Itu harus secara ketat supaya gejala yang muncul terkendali,” kata dia.
Selain pasien rawat jalan, kata Yarmaji, dalam satu tahun belakangan ada sekira 5 kasus anak yang dirawat di bangsal jiwa.
Mereka berasal dari usia SMP, SMA, dan perguruan tinggi.
“Jumlah tersebut meningkat dibanding tahun sebelumnya.”
“Ini mungkin terkait pandemi, PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), karena harus sekolah online, pihak sekolah harus pakai HP demi berjalannya pendidikan.”
“Tapi di HP banyak yang dilihat dan menarik, penggunaan HP jadi untuk hal lain juga.”
“Tanpa tersaring, akhirnya anak kesulitan menghentikan penggunaan HP,” kata Yarmaji kepada Tribunjateng.com, Rabu (1/2/2023).
Dalam banyak kasus, kata dia, secara psikologis sebetulnya anak ingin berhenti, tapi bingung tidak tahu caranya menghentikan.
Akhirnya muncul gejala tambahan berupa depresi, kecemasan, dan gangguan perilaku.
“Untuk yang dirawat di bangsal, Alhamdulillah sekarang sudah bisa rawat jalan semua,” ucap dia.
Untuk mencegah kasus serupa terulang, menurut Yarmaji, perlu peran kolaboratif antara orangtua dan pihak sekolah.
“Orangtua di rumah harus kendalikan penggunaan HP pada anak.”
“Ada pembatasan.”
“Memang tidak bisa dilarang sama sekali, tapi harus dengan pendampingan orangtua.”
“Untuk refreshing boleh, tapi ada batasan,” jelas Yarmaji.
Yarmaji mengatakan, selama ini, untuk anak yang sudah kecanduan HP akut, pihaknya melakukan pembatasan secara bertahap.
Durasi penggunaan HP oleh anak diturunkan pelan-pelan.
Misalnya dikurangi satu jam untuk tahap awal.
“Kemudian penting juga melakukan pembatasan penggunaan di malam hari.”
“Kami sarankan, begitu jam tidur HP diserahkan ke orangtua,” ujar dia.
Yarmaji menambahkan, orangtua juga harus berkomunikasi dengan pihak sekolah agar penggunaan HP di sekolah juga dalam pengawasan dan pembatasan.
Artikel ini telah tayang di TribunJateng.com