BATANG – Polres Batang mempertimbangkan menjerat pelaku sodomi, AM (28) dengan ancaman hukuman kebiri. Hal itu tertuang Perpu Nomor 1 Tahun 2016.
“Kita akan mendalami peraturan tersebut termasuk spesifikasi khusus. Contohnya, apakah sebagai pejabat, panutan dan lain-lain. Pelaku juga dijerat dengan Pasal 82 Juncto Perpu Undang-Undang RI Nomor 22 Pasal 82 maupun Pasal 292 KUHP Lek Spesialis Pasal 82 ancaman hukuman 15 tahun penjara, dengan pemberatan,” ujar Kapolres Batang AKBP Saufi Salamun melalui Kasatreskrim AKP Yorisa Prabowo saat dihubungi, Senin (30/1/2023).
Pertimbangan ancaman hukuman kebiri tersebut diambil usai korban tindak pidana pencabulan pada anak oknum guru ngaji sekaligus rebana, Muslihuddin terus bermunculan.
Terbaru, ada dua korban sodomi yang melapor Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Batang. “Iya, tambah dua lagi. Jadi total laporan resmi yang kami terima mencapai 24 korban,” kata Yorisa.
Ia mengatakan, masih terus melakukan pemberkasan terhadap kasus tersebut. Pihak kepolisian terus berkonsultasi dengan Kejaksaan Negeri (Kejari) Batang. Yorisa menyatakan, begitu selesai berkas dinyatakan lengkap maka pihaknya akan melakukan pelimpahan ke kejaksaan. Pelaku bisa segera disidang untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Sebelumnya, Anggota Komisi VIII DPR Fraksi PKB MF Nurhuda Y mengaku geram atas terjadinya pencabulan yang dilakukan oknum guru rebana di Batang. Hal tersebut diungkapkan Nurhuda saat dihubungui GoNews.co. “Ini kejadian yang berulang, sebelumnya ada oknum Guru juga yang melakukan kejahatan seksual di Batang. Sekarang terjadi lagi, ini harus ditindak tegas,” ujarnya.
Sebelumnya oknum guru agama berinisial AM (33) melakukan pencabulan terhadap 13 siswi sekolah menengah pertama (SMP) di Kecamatan Gringsing, Batang, Jawa Tengah. Kali ini Oknum Guru Rebana berinisial M (28) diduga telah menyodomi puluhan anak didiknya. “Kenapa orang tidak jera juga?, lalu fungsinya UU TPKS apa?,” sesalnya.
Untuk itu, Ia meminta pemerintah segera membuat aturan turunan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Nomor 12 Tahun 2022. Ia meminta UU TPKS diimplementasikan dengan baik demi melindungi perempuan dan anak korban kekerasan seksual di lingkungan sekolah maupun tempat pendidikan.
“Pemerintah seharusnya segera mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan memberikan perlindungan serta pemulihan terhadap anak-anak korban kekerasan seksual,” kata Nurhuda.
“Termasuk membuat regulasi turunannya untuk melindungi perempuan dan anak korban kekerasan seksual di lembaga pendidikan,” sambungnya.
Menurutnya, berbagai kasus kekerasan seksual yang dilaporkan merupakan puncak gunung es. Sebab, kata Nurhuda, umumnya kasus-kasus kekerasan di lingkungan pendidikan cenderung tidak diadukan. “Ada relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban, sehingga korban cenderung diam atau tidak berani melaporkan kasusnya. Bisa jadi, si anak malu atau takut jika bercerita atau melapor maka gurunya mengancam tidak memberi nilai di rapor,” tuturnya.
Ia pun menekankan potensi trauma yang berkepanjangan bagi para korban kekerasan seksual. Bahkan tak sedikit korban yang justru menerima stigma buruk dari masyarakat. Karena itu, ia mendorong pemerintah memberikan perlindungan dan pemulihan kepada korban. “Negara harus memastikan ketersediaan layanan konseling dan psikologis bagi korban, anggaran untuk jasa konselor termasuk rehabilitasi sosial bagi korban,” lanjutnya.
Nurhuda menilai kasus pencabukan yang terjadi di lingkungan pendidikan merupakan potret fenomena pendidikan yang butuh perhatian khusus. Ia pun sangat menyayangkan tingginya angka kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan. “Kondisi dunia pendidikan kita juga patut menjadi keprihatinan dan perhatian serius,” kata dia.
sumber: gonews.com