Pati – Warga Desa Sukolilo Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, jawa Tengah menggelar Tradisi Meron untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, hari ini. Ada 13 Meron yang dikirab dan jadi rebutan warga.
Meron merupakan gunungan yang biasa dibuat dalam kegiatan garebek. Meron terdiri dari tiga bagian, yakni mustaka, gunungan, dan ancak.
Bagian mustaka terdapat rangkaian bunga dan jagoan. Lalu bagian gunungan terdiri dari mancungan, ampyang curur, dan once. Selanjutnya bagian ancak terdapat ancak tiga, daun wandiro, ancak dua dan ancak satu.
Selain itu juga ada hasil bumi dan kerupuk ampyang. Acara upacara Tradisi Meron digelar di Masjid Desa Sukolilo.
Pantauan di lokasi kirab, tradisi meron dimulai sekitar pukul 11.00 WIB, Minggu (9/10). Meron atau gunungan berjejer di sepanjang jalan Sukolilo-Grobogan. Arus lalu lintas pun dialihkan karena ada penyelenggaraan tradisi tersebut.
Setelah didoakan, belasan meron itu lantas diperebutkan oleh warga yang hadir dalam kegiatan tersebut
Pembaca sejarah Meron, Ali Zuhdi mengatakan kata meron dalam bahasa Kawi memiliki arti gunung. Sedangkan dalam bahasa Arab, meron memiliki arti kemenangan.
“Kata meron dalam bahasa Kawi berarti meru yakni gunung. Jadi meron adalah perlengkapan upacara berbentuk gunungan. Adapun dalam bahasa Jawa Kuno, meron atau merong berarti mengamuk, saat itu suasana peperangan. Dalam bahasa Arab, meron adalah mikraj yang berarti ke atas atau kemenangan,” kata Ali saat membacakan sejarah Tradisi Meron di lokasi, Minggu (9/10/2022).
Dia mengatakan tradisi meron diadakan dengan tujuan melestarikan tradisi budaya masyarakat secara turun temurun dalam memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Selain itu juga sebagai wahana meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Asal-usul Tradisi Meron di Sukolilo
Menurutnya asal usul tradisi meron tidak diketahui secara pasti. Namun ada cerita legenda yang turun temurun di Desa Sukolilo. Yakni kisah dari Suro Kadam.
“Upacara tradisi Meron di Sukolilo diadakan kali pertama pada masa pemerintahan Kesultanan Mataram pada permulaan abad ke-17,” ujar Ali.
“Demang di Sukolilo pada saat itu ada lima bersaudara yakni Suro Kadam, Suro Kerto, Suro Yudo, Suro Tirto, dan Suro Wijoyo, karena kelima laki-laki maka dikenal dengan Pandawa Lima,” sambung dia.
Ali Zuhdi menerangkan Suro Kadam tertua dari lima saudara berniat untuk ke Kesultanan Mataram. Sebab leluhurnya dulu berasal dari Mataram. Singkat cerita Suro Kadam sedang beristirahat di Alun-alun Mataram. Dia melihat ada prajurit lari karena ada gajah mengamuk.
Suro Kadam bisa menaklukan gajah yang mengamuk hingga menewaskan pawangnya itu. Suro Kadam pun diangkat menjadi pawang oleh Sultan Agung.
“Suro Kadam yang tertua dari lima bersaudara bermaksud untuk ke Kesultanan Mataram. Karena leluhur mereka ada di Mataram. Sesampai di alun-alun Mataram Suro Kadam beristirahat di bawah pohon beringin. Tiba-tiba ada prajurit lari dan menyelamatkan diri karena amukan gajah. Sang pawang gajah pun meninggal dunia dalam kejadian itu,” ujar Ali.
“Suro Kadam berhasil menjinakkan gajah itu. Suro Kadam itu diangkat Sri Sultan menjadi pawang dan diberi gelar Raden Ngabehi Suro Kadam,” kata Ali menerangkan.
Ali melanjutkan Suro Kadam ditunjuk menjadi mata-mata saat terjadi perang antara Sultan Agung dengan Adipati Pati Wasis Jayakusuma. Suro Kadam pun ditunjuk untuk menjadi pimpinan prajurit di wilayah Sukolilo lereng Gunung Kendeng bagian utara.
“Pada saat pecah perang antara Sultan Agung dan Adipati Pati Wasis Jayakusuma (di Pati), Sura kadam dipercaya sebagai telik sandi untuk mengamati dan memberikan informasi keadaan di Pati. Suro Kadam dan keempat tumenggung mendapat tugas khusus memimpin prajurit di Sukolilo,” jelasnya.
Setelah perang usai Suro Kadam memilih menetap di Sukolilo. Dia pun berkeinginan untuk menggelar upacara tradisi sekaten seperti di Mataram. Hanya saja Sultan Agung mempersilakan, asal penyebutannya tidak sama melainkan dengan istilah meron. Tradisi Meron itu pun yang dilestarikan masyarakat hingga sekarang.
“Singkat cerita saat perayaan Maulid Nabi Muhammad di Keraton Mataram ada upacara sekaten. Sultan Agung senantiasa menggunakan perayaan sekaten sebagai arena para prajurit dan para punggawa dalam pisowanan agung yang menjadi tolok ukur kesetiaan,” ujar dia.
“Lalu Suko Kadam meminta izin kepada Kesultanan Mataram untuk menggelar upacara. Sultan Agung berkenan memberikan izin bagi Kademangan Sukolilo mengadakan perayaan serupa sekaten setiap tahun. Namun istilahnya dibuat bukan sekaten melainkan meron. Tradisi itulah yang dilestarikan masyarakat sampai sekarang,” Ali mengimbuhkan.
Ketua Panitia M. Suhban mengatakan rangkaian acara Tradisi Meron digelar sejak hari Jumat (7/10). Kata dia puncaknya digelar hari ini yakni tradisi Meron.
“Sudah dimulai sejak hari Jumat kemarin sampai hari ini puncak hari Tradisi Meron. Dan alhamdulillah berjalan lancar, dan menghabiskan dana Rp 46 juta,” ujarnya.
“Tradisi Meron warisan budaya leluhur, pelaksanaan Meron punya slogan meron bebas sampah,” pungkas Suhban.